Oleh Ukim Komarudin
Imam Al Ghazali berkata, “Hak guru atas muridnya lebih agung dibanding hak orang tua terhadap anaknya. Orang tua sering hanya menjadi penyebab adanya anak di alam fana dan guru menjadi penyebab hidupnya yang kekal.”
Dalam Kamus Webster kata encouragement dimaknai sebagai sesuatu yang memberikan harapan, penentu, atau sesuatu yang menyebabkan tumbuhnya rasa percaya diri (something that gives hope, determination, or confidence). Kata encouragement dapat pula mengarah pada makna yang kedua yaitu: aktivitas yang menumbuhkan harapan atau rasa percaya diri (the act of giving hope or confidence).
Dalam pembelajaran, encouragement dimaknai sebagai pemberian dorongan atau semangat dengan ungkapan yang positif. Dampak encouragement diketahui mampu membesarkan hati dan mempengaruhi sikap seorang siswa. Di sisi siswa ungkapan yang bersifat menghargai, menggugah semangat, dan mengapresiasi, ternyata bukan semata menginspirasi tetapi juga mendorong tumbuhnya sikap positif yakni berani dan percaya diri.
Encouragement dikenalkan kepada para guru sebagai semangat mengapresiasi segenap proses yang telah dilalui peserta didik tanpa menutupi hal-hal yang dirasakan kurang sehingga perlu perbaikan. Semangat encouragement ini diharapkan mewadahi aplikasi penanaman karakter yang diharapkan berimplikasi dalam format laporan pendidikan (rapor). Semangat ini bukan bermaksud menggantikan apa yang telah dibuat oleh dinas atau lembaga lainnya yang telah mengatur secara baku laporan pendidikan, melainkan semangat melengkapi informasi hasil belajar yang dirasakan kurang mendapatkan apresiasi sehingga dengan pemunculan tulisan yang menghargai proses, setiap peserta didik tetap bersemangat untuk terus maju.
Encouragement yang diekspresikan dengan kalimat-kalimat yang mendorong menjelaskan bahwa peserta didik telah berusaha, dan proses itu tercatat sebagai bentuk penghargaan. Contoh kalimat yang tercatat di dalam rapor adalah seperti ini: “Budi memang mengalami kesulitan dalam memahami materi pelajaran matematika. Ia memulainya dengan berat, namun ia telah mencobanya dengan sungguh-sungguh.”
Kesadaran meng-encourage bukanlah tanpa latar belakang. Terlalu banyak insan Pendidikan yang menyesalkan kejadian bahwa sebagian guru atau dosen kerap memperlakukan peserta didik atau mahasiswa mereka dengan sangat tidak mendidik. ”Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan secara tidak sadar terjadi discouragement,” katanya.
Sebagian guru cenderung memanggil siswa dengan nama julukan yang mencerminkan kekurangan fisiknya. Sebagian dosen tidak siap ketika ada mahasiswa yang ternyata memiliki kompetensi yang lebih unggul. Dosen itu biasanya akan bersikap menekan karena kebetulan dirinya pemegang otoritas. Hasilnya pun bisa diduga: selain kualitas kelulusannya rendah, kuantitas kelulusannya pun terancam rendah. Celakanya, beberapa tenaga pengajar yang dulunya termasuk siswa yang tertekan, kini pun menerapkan gaya mengajar yang cenderung menekan dan otoriter.
Pembiasaan encouragement berhasil membuahkan penilaian autentik dalam sistem rapor di Labschool. Sebuah penilaian yang menggambarkan kualitas siswa dengan menggunakan kalimat-kalimat yang mendorong atau encouraging. Semangat itu menyebabkan setiap peserta didik mendapatkan catatan perkembangan karakter kinerja mereka dalam mengikuti pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, ketika kurikulum berganti dan para guru diharuskan menuliskan penilaian sikap serta authentic assessment dan lain-lain, semua guru sudah terbiasa melakukannya.
Yang menarik, perkembangan semangat encouragement ini berkembang dalam beragam aktivitas di sekolah. Jika para guru berkeinginan mengingatkan hal-hal yang negatif, seperti keterlambatan, kelambanan, atau kekurangan, maka yang dituliskan sebagai pengumuman adalah ketepatan, kecepatan mengumpulkan tugas, atau beragam kelebihan peserta didik. Pembiasaan yang kemudian menjadi kebiasaan baik itu diharapkan menular pada peserta didik.
Untuk menguatkan hati, ada sepenggal pengalaman menerapkan encouragement yang berbuah manis bagi pendidik. Pernah ada orang tua murid yang tersenyum dan memuji ketika pengurus OSIS memberikan aba-aba kepada peserta didik baru, kala itu peserta didik baru sedang mengalami Masa Orientasi Siswa: “Yang tinggi di depan dan yang lebih tinggi di belakang!”, demikian pengurus OSIS tersebut memberi komando.
Aba-aba itu tegas disampaikan. Serius. Tak ada tanda-tanda melucu. Memang aba-aba itu sempat membuat anak-anak baru tertegun. Tetapi dalam hitungan detik, mereka pun cepat beradaptasi.