oleh Ukim Komarudin
Iklim masing-masing sekolah berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh pola perilaku individu maupun kelompok yang berbeda dari setiap warga sekolah. Ada yang yang berkembang dalam kondisi disiplin tinggi sehingga sekolah tumbuh menjadi sekolah yang efektif, ada pula yang tumbuh menjadi sekolah dengan lingkungan ramah, sopan, tenang, tetapi energik. Di sekolah tertentu, kerap pula ditemukan sekolah dengan perkembangan lingkungan mengkhawatirkan, yakni maraknya tindakan bully, perkelahian, bahkan tawuran yang diikuti oleh lesunya semangat pembelajaran di kalangan guru maupun para siswa.
Iklim sekolah berkaitan dengan lingkungan yang produktif dan kondusif untuk belajar siswa dengan suasana yang mengutamakan kerjasama, kepercayaan, kesetiaan, keterbukaan, rasa bangga, dan komitmen. Iklim sekolah juga berkaitan dengan prestasi akademik, moral dan perilaku siswa. Iklim sekolah yang optimal adalah iklim sekolah yang responsif terhadap perkembangan kebutuhan setiap siswa, merangsang pertumbuhan pribadi dan akademik.
Sebagaimana diketahui, penetapan norma, nilai, harapan, kebijakan, dan prosedur mempengaruhi pola perilaku individu dan kelompok dalam sebuah lembaga. Perkembangan atas norma, nilai-nilai, dengan dukungan kebijakan serta prosedur yang dipilih, disepakati, dan ditetapkan dapat mempengaruhi hubungan interpersonal dan beragam praktik baik. Artinya, hubungan interpersonal dan praktik baik akan meningkat, atau justru merosot kualitasnya karena pilihan dari beragam hal di atas.
Mengingat iklim yang berkembang sangat mempengaruhi karakter sekolah, maka dibutuhkan kesadaran bersama untuk meningkatkan sikap dan perilaku positif dari para siswa, pendidik, dan tenaga kependidikan. Dasar pijak yang harus diyakini oleh setiap pendidik, baik guru maupun orang tua, adalah setiap anak itu baik karena kebaikan merupakan fitrah setiap manusia. Riak “kenakalan” seorang anak hanyalah dampak dari pola asuh orang dewasa yang berada di sekitarnya. Dengan demikian, apabila mendapati seorang atau sejumlah anak berperilaku “menyimpang” dari yang diharapkan, pendidik atau orang tua harus berpikir jernih, memperbaiki pola asuh, dan mengambil sikap yang bertujuan mengembalikan perilaku anak pada fitrahnya.
Yang harus dilakukan sejumlah pendidik di sekolah atau di rumah adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi pembelajaran, yang Prof. Conny R. Semiawan sebut sebagai an invitational learning environment, atau sebuah kondisi yang senantiasa mendorong minat belajar anak. Kondisi ini dibentuk dengan tujuan memberi kesempatan kepada setiap warga sekolah untuk berperan positif dalam mengembangkan segala potensi yang dimilikinya, dan untuk berkeyakinan bahwa kiprahnya akan berdampak positif bagi dirinya maupun lingkungan sekitarnya.
Proses pembelajaran yang mengundang siswa mendalami pengetahuan tentang hidup dan kehidupan di sekolah, secara sederhana diterjemahkan dalam kalimat, “Berikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua pihak untuk berbuat baik, dan tutup kesempatan bagi siapa pun untuk kemungkinan melakukan pelanggaran.”
Implementasi dari kalimat di atas adalah dengan memperhatikan penjelasan dari Paul McLean Ahli psikobiologi yang menjelaskan Model “Tiga Otak” (The Triune Brain). Paul McLean membagi otak menurut perkembangan evolusinya menjadi tiga lapis. Pertama, batang otak (otak reptil / Protoreptilian), terutama berfungsi untuk mendukung kegiatan vegetatif tubuh manusia, seperti bernapas.
Kedua, Sistem Limbik (otak mamalia / Paleomammalian). Bagian otak seperti ini, selain ditemukan pada manusia juga ditemukan pada hampir semua binatang. Pada otak manusia, lapisan ini bertanggungjawab untuk pengaturan emosi. Batang otak dan sistem limbik keduanya merupakan pusat pengaturan emosi, yang biasa disebut “otak binatang”. Ciri otak binatang ini adalah reaktif, cepat tanggap, dan tanpa berpikir. Setiap stimulus, akan akan direspons dengan dua pilihan: fight (bertarung) atau flight (lari).
Ketiga, Kulit Otak (otak manusia / Neomammalian). Bagian otak ini merupakan lapisan otak yang paling akhir muncul. Lapisan ini bertanggungjawab untuk kegiatan berpikir tingkat tinggi (high order thinking), antara lain persepsi dan bahasa. Lapisan ini hanya ada pada mamalia tertentu, dan paling lengkap ada pada manusia. Lapisan ini biasa disebut sebagai otak berpikir karena kemampuannya untuk memilih respons. Perbedaan paling bermakna antara otak berpikir dan otak binatang adalah kemampuan memilih respons.
Otak manusia yang dipandu oleh “otak berpikir”, akan menjadikan ia mampu memilih respons atas setiap stimulus yang masuk. Contohnya, jika ada seseorang yang menghina atau mencela, maka “otak berpikir” akan memandu untuk memilih responsnya. Akan menanggapi dengan marah lalu memukul, atau menjadikan sebagai masukan yang berharga, atau mungkin saja tertawa karena menganggapnya lucu, atau tidak menanggapinya sama sekali karena menganggapnya sebagai hal yang kecil.
Menurut dr.Taufik Pasiak, dalam Brain Management for Self Improvement, kebebasan memilih respons ini menandai kemanusiaan manusia dan kedewasaan, sebab tidak semua manusia menjadi dewasa sejalan dengan bertambahnya usia. Oleh karena itu, jika pendidik, tenaga kependidikan, dan orangtua membesarkan dan menyuburkan “otak binatang” dalam kepala siswa, maka siswa akan hidup dengan cara binatang. Tingkah laku dan cara berpikir siswa menjadi mirip binatang. Ini bisa dikenali dengan munculnya perilaku siswa yang tak terkendali, mengedepankan hawa nafsu dan kurang memperhatikan tata tertib sekolah.
Dengan dasar tersebut, sikap baik atau positif attitude, yakni aktif dalam segala kebaikan mendapat perhatian utama dalam pengembangan kualitas sekolah. Sudah menjadi kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan menyiapkan beragam alternatif untuk tumbuhkembangnya beragam potensi siswa. Dalam suasana kultur disiplin tinggi, sekolah dengan penegakkan disiplin tinggi menyediakan ruang kreativitas yang tinggi pula sebagai penyeimbangnya. Artinya, kebebasan yang dimiliki siswa tetap ada batas-batasnya. Namun demikian, dengan penyediaan kreativitas, keterbatasan itu masih menyisakan sejumlah kebebasan untuk berekspresi.
Kegiatan kurikuler atau pembelajaran inti di dalam kelas dikelola dengan semangat pembelajaran yang menantang, menyenangkan dan bermakna. Pembelajaran yang difasilitasi guru bersyaratkan “mengundang” hasrat siswa untuk belajar. Artinya, siswa tertarik dan melakukan belajar karena tertantang menunjukkan kemampuannya, tertarik karena senang dan bahagia melakukan pembelajaran, dan menemukan makna dari pengetahuan yang kini dipelajarinya. Seiring dengan itu, kegiatan ekstrakurkuler dikelola dengan sungguh-sungguh mengusung tema yang mendukung yakni, “ekstrakurukuler yang menyenangan dengan prestasi yang membanggakan.”
Selain itu, beragam kemungkinan bagi tumbuhnya beragam kebaikan menjadi sekolah. Untuk memudahkan penerapannya di lapangan, berikut adalah tahapan-tahapan yang dapat dilakukan.
- Pembentukan kondisi yang kondusif dimulai dari pengenalan. Kondisi AMAN dan NYAMAN menjadi target awal. Setiap siswa maupun orangtua harus merasa aman dari segala himpitan sehingga mereka akan merasa nyaman mengaktualisasikan diri. Perasaan aman dan nyaman tersebut akan menumbuhkan rasa “kerasan” karena secara batin mereka merasa diterima dan menerima.
- Seiring dengan pencapaian rasa aman dan nyaman, pengenalan berlanjut pada elemen berikutnya, yakni rasa BANGGA atas almamater. Rasa bangga dimunculkan oleh faktor material dan nonmaterial. Penampakan fisik sekolah yang megah, bersih, dan tertata memang menumbuhkan rasa bangga dalam diri pemiliknya, namun hal tersebut biasanya bersifat sementara. Kebanggaan seperti itu akan cepat berlalu apabila faktor nonmaterial terbengkalai. Pengalaman dilayani, dibutuhkan, diayomi, dan diberi pengakuan merupakan faktor yang justru mendasar dan bertahan lama dalam menumbuhkan perasaan bangga. Fisik gedung yang menawan memang baik, tetapi akan lebih baik jika sekolah menampilkan gambaran prestasi para pendahulu, serta memberikan pemahaman bahwa generasi saat ini juga berkesempatan untuk turut berprestasi dan berkontribusi dalam memelihara dan meningkatkan kualitas dan nama besar sekolah.
- Tiga elemen dasar, yakni rasa aman, nyaman, dan bangga, tidak akan dapat melekat dan tumbuh tanpa PEMELIHARAAN. Rasa aman, nyaman, dan bangga akan terus meningkat dan berbuah prestasi apabila terdapat upaya pembiasaan perilaku positif dalam kegiatan sehari-hari.
DAFTAR BACAAN
Agustin, Mubiyar. 2011. Permasalahan Belajar dan inovasi Pembelajar. Bandung Refika Aditama
Freire, Paulo. 2000. Pendidikan sebagai Proses. Jogjakarta: Pustaka Belajar.
Imam, Muis Sad. Pendidikan Partisipatif. Jogajakarta: Safiria Insana
Rusyan, Tabrani. 2007. Budaya Belajar yang Baik. Jakarta: Panca Anugrah Sakti.
Suparno, Paul. 2012. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta
Kanisius.
De Forter, Bobby dan Mike Hernacki. 1999.Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: KAIFA
Indriadi, A. 2014. Menghipnotis Siswa dengan Edutainment. Malang; Penerbit Dioma (anggota IKAPI dan anggota SEKSAMA).