Oleh Ukim Komarudin
Disadari atau tidak, kehadiran Labschool Cibubur berbeda dengan era pendahulunya, yakni Labschool Jakarta dan Labschool Kebayoran. Jika Labschool Jakarta dan Labschool Kebayoran lahir dan tumbuh pada era informasi, maka Labschool Cibubur terlahir pada era konseptual. Di era infomasi seseorang akan dihormati karena kedalaman pengetahuannya, maka di era konseptual seseorang akan dihormati karena kemampuannya mencipta dan berhasil menumbuhkan empati.
Dalam era mencipta dan menumbuhkan empati, dibutuhkan insan yang mampu berpikir kreatif dan bekerja keras dengan empat kriteria yang menyebabkan sebuah produk atau outcome berbeda dengan lainnya, yakni: bernilai (valuable), langka (rare), mahal untuk ditirukan (costly to imitate), dan tak dapat digantikan (nonsubstitutable).
Mengelola Labschool Cibubur sudah semestinya memperhatikan empat kriteria di atas. Outcome Labschool Cibubur diharapkan bernilai tinggi, langka dalam arti unik atau khas karena berkarakter, mahal untuk ditiru karena ketat atau bertumbuh karena keketatan dalam berproses, dan tentu saja tak dapat digantikan karena merupakan perpaduan antara sebuah capaian prestasi tinggi dan karakter akhlak mulia.
Pemilihan strategi bersaing seperti ini menurut Porter (Robbins: 1994) adalah Differentiation strategy yakni lembaga yang berusaha menjadi unik di dalam produknya yang dinilai secara luas oleh pelanggannya. Ciri dari differentiation Strategy adalah kualitas yang tinggi, pelayanan yang istimewa, rancangan inovatif, kemampuan teknis tinggi, dan brand image yang positif. Kuncinya adalah bahwa atribut yang diluncurkan berbeda dengan yang ditawarkan pesaing. Selain itu, atribut harus cukup bermakna untuk membenarkan suatu keunggulan untuk menepis kecenderungan tingginya harga yang harus dikeluarkan pelanggan.
Dengan maksud menumbuhkan outcome sebagaimana dikemukakan di atas, diperlukan proses mencairkan cara berpikir lama (unfreezing) menuju pembelajaran yang mengedepankan keterampilan abad ke-21, yakni Critical Thinking atau berpikir kritis, Collaboration atau kemampuan bekerja sama dengan baik, Communication atau kemampuan berkomunikasi, dan Creativity atau kreativitas. Dengan semangat era mencipta dan menumbuhkan empati, 4 C tersebut ditambah 1 C berikutnya (4 C + I C), yakni Carrying atau peduli. Demi pencapaian tersebut dikuatkan sebuah proses yang memperkenalkan strategi pembelajaran kreatif, yakni pengenalan pembelajaran berbasis otak (Brain Based Learning) untuk pendekatan pembelajaran yang mengenalkan bagaimana seharusnya belajar (learning how to learn) dan pendekatan Apresiatif Inkuiri (Appreciative Inquiry) untuk pertumbuhan organisasi yang lebih baik.
Langkah strategis selanjutnya untuk penetapan strategi sekolah Juara adalah dengan bersandar pada budaya atau kultur yang dimiliki atau yang semestinya dimiliki oleh sekolah juara. Hal ini dianggap tepat mengingat budaya adalah strategi untuk bertahan hidup dan menang (Van Peursen: 1976). Inti dari kekuatan budaya bukan pada budaya itu sendiri, melainkan pada strategi kebudayaannya. Oleh Sebab itu, keberhasilan dari sebuah organisasi dapat ditandai dengan terbentuknya budaya tinggi yang menyebabkan organisasi tersebut selamat dan menang karena kepemilikan mental, karakter, dan tradisi juara. Hasil penelitian Harvard Bussiness School (Kotter dan Heskett, 1992) menunjukkan bahwa budaya mempunyai dampak yang kuat dan semakin besar pada prestasi kerja organisasi.
Demikianlah sejak ditetapkan SD-SMP-SMA Labschool Cibubur sebagai sekolah juara, pemikiran terkait transformasi budaya menjadi bagian sangat penting. Penetapan identititas “sekolah juara” bukan semata-mata dimaknai sebagai sebuah target dengan orientasi hasil, tetapi lebih merupakan sebuah perubahan (change) sebagai orientasi proses. Adapun perubahan, entah yang berkaitan dengan individu (personal context) maupun sosial (social/organization context) diyakni menghendaki sebuah proses penting yang dinamakan transformasi. Sebagaimana lazimnya, transformasi melibatkan sebuah proses perubahan mendasar yang sering disebut fundamental change.
Prasyarat terjadinya fundamental change adalah dimilikinya sistem nilai, yang menjaga, mendorong, mengarahkan setiap individu menjadi pribadi juara. Nilai-nilai itu terjaga oleh norma atau aturan yang ditetapkan, terayomi oleh kedaulatan hukum, dan terapresiasinya setiap individu maupun komunitas yang mampu mengendalikan diri dan patuh menjaga tetap tegaknya nilai yang mendorong tumbuhnya pribadi dan komunitas juara.
Terkait dengan konteks pribadi maupun organisasi juara, sebuah proses transformasi (fundamental change) akan melibatkan dua hal vital, yakni kepemimpinan (leadership) dan budaya organisasi (organisation culture). Kepemimpinan dan budaya organisasi memiliki peranan sangat penting dalam proses transformasi, yakni: menghadapi, menyiasati, serta melewati situasi dan kondisi ketidakpastian yang semakin tinggi; dan mengelola serta memenangkan semua situasi dan kondisi yang ada dan mengembangkannya menuju kebesaran (greatness), baik pemimpin itu sendiri maupun organisasi menjadi great leader dan great organisation.
Menjadikan SD-SMP-SMA Labschool Cibubur sebagai “sekolah juara” merupakan persoalan menjadikan manusia yang ada di dalam lembaga tersebut menjadi manusia-manusia juara. Belajar dari Prof. Kuntjaraningrat, menjadikan manusia-manusia juara atau pembangunan manusia tak lepas dari pembangunan budaya, tepatnya pembangunan mentalitas manusia.
Menuju Sekolah juara, transformasi kultural yang harus dilakukan adalah menumbuhkan kultur atau budaya saling percaya (trust), kultur manajemen, dan kultur pembelajaran. Kepemilikan kepercayaan atas manusia (trust) merupakan modal sosial lembaga (social capital). Rasa saling percaya (trust) antara pendidik dan tenaga kependidikan menyebabkan sekolah dapat bekerja optimal karena segenap unsur yang berada di dalamnya mampu bersinergi dengan baik. Dampak dari itu, pimpinan sekolah mampu membangun ekosistem sekolah (pendidik dan tenaga kependidikan, siswa, dan orangtua) sehingga prestasi sekolah dapat meningkat seiring berjalannya lembaga.
Seiring dengan kesediaan orang tua bekerjasama dengan pihak sekolah, mendorong tumbuhnya komunitas yang melakukan tindakan kolektif yang saling menguntungkan (reciprocal relationship) antar mereka. Kondisi tersebut menjadi modal sosial yang luar biasa dalam membina dan meningkatkan kualitas siswa, kualitas pendidik dan tenaga kependidikan, sekaligus kualitas sekolah. Menariknya, berbekal kepercayaan orangtua, semakin bertumbuh kerjasama kemitraan yang kolegial antar lembaga-lembaga terkait baik local, nasional, maupun global yang secara sengaja maupun tak disengaja membangun dan meningkatkan kualitas sekolah.
Tumbuh dan menguatnya rasa saling percaya (trust) menghendaki proses panjang. Kondisi ideal tersebut tidak serta merta terbangun secara instan. Trust menghendaki usaha sadar untuk menumbuhkan, merawat, memelihara, membina, dan meningkatkan. Trust dibangun dari hari ke hari melalui pembuktian kesungguh-sungguhan kerja, ketulusan, dan keteladanan. Oleh karena itu, budaya disiplin, budaya belajar, budaya Layanan Prima, budaya berdoa dan mendoakan orang lain, dan budaya tahan dalam berproses merupakan instrumen yang pembangun sekaligus pengawal kepercayaan atas lembaga. Meningkatnya budaya tinggi cenderung meningkatkan kepercayaan. Sebaliknya, melemah dan tanggalnya budaya tinggi sekolah turut melemahkan pua kepercayaan terhadap lembaga.
Adapun kultur atau budaya manajemen merupakan capaian tertinggi dari kesediaan setiap personal dalam pengaturan sistem yang disepakati bersama (manajemen). Menurut Peter F. Drucker hanya manajemen yang memungkinkan organisasi mampu bekerja dan menciptakan nilai tambah. Tanpa manajemen yang ada dalam sebuah lembaga hanya sekumpulan atau segerombolan manusia saja.
Pemahaman akan pentingnya pengaturan sistem memunculkan prioritas pembangunan sistem. Yang pertama dan utama dilakukan adalah pembangunan sistem nilai yang melindungi segenap budaya tinggi yang diinsyafi sebagai karakter khas sekolah. Penciptaan sistem nilai yang dihormati bersama segenap warga sekolah mampu menumbuhkan motivasi kreatif yang tidaknya hanya melindungi, melainkan juga meningkatkan kualitas sekolah secara berkelanjutan.
Kultur atau budaya yang selanjutnya dibangun adalah kultur atau budaya pembelajar. Sudjatmoko menyampaikan bahwa pembangunan tidak lain adalah proses manusia belajar hidup lebih baik dari hari esok. Mental pembelajar adalah akar dari disiplin dan inovasi. Mental pembelajar juga menumbuhkan kebersahajaan, toleransi, dan kemauan menumbuhkan iklim yang sehat yang memberi ruang pertumbuhan rohani maupun jasmani; ruang bagi pertumbuhan kualitas kemanusiaan.