Oleh Nurdin
Dalam proses pembelajaran di sekolah, materi matematika disusun dan disampaikan secara hierarki bukan hanya dari tingkat kesulitannya mulai dari materi sederhana sampai dengan kompleks juga dilihat dari sisi keberlanjutan materinya mulai dari konsep dasar sampai kepada pengembangannya. Mulai dari Pendidikan Usia Dini sampai dengan fase A (kelas I dan II) Sekolah Dasar, pembelajaran matematika dengan konsep yang abstrak disajikan dengan menggunakan benda-benda konkrit sebagai pengantarnya secara 100%. Fase B dan seterusnya mulai dikurangi hingga akhirnya ketika di jenjang SMA 100% materi matematika disajikan secara abstrak.
Bilangan merupakan konsep dasar dalam matematika yang digunakan untuk mengukur, menghitung, dan mengidentifikasi objek serta fenomena di sekitar kita. Simbol yang digunakan untuk mewakilinya disebut sebagai angka atau lambang bilangan. Sebagai konsep dasar dalam matematika, bilangan harus sudah diajarkan kepada siswa mulai dari pendidikan tingkatan terendah, yaitu Pendidikan Usia Dini. Pemahaman terhadap konsep bilangan dimulai dengan bagaimana mengenali, menyebutkan, dan membedakan lambang-lambang bilangan dasar 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. Setelah mampu mengenali, menyebutkan, dan membedakan bilangan pada kelas I SD mulai diperkenalkan operasi hitung yang melibatkan bilangan, yaitu penjumlahan dan pengurangan bilangan 1 sampai dengan 20. Meskipun jika kita lihat dari runut materi atau keberlanjutan materi setelah operasi penjumlahan seharusnya yang diajarkan adalah operasi perkalian. Perkalian sesuai konsepnya adalah penjumlahan yang dilakukan berulang pada bilangan yang sama. Hanya saja mengingat pengurangan adalah invers (operasi kebalikan) dari penjumlahan, maka operasi pengurangan boleh diajarkan setelah operasi penjumlahan diberikan. Selain memang mengingat juga tingkat kompleksitas operasi hitung perkalian jika diberikan untuk kelas I SD juga dapat menjadi bahan pertimbangan. Secara umum jika mengacu kepada keberlanjutan materi seharusnya urutan materi yang diajarkan adalah penjumlahan dilanjutkan perkalian dan pengurangan dilanjutkan pembagian. Namun dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, salah satunya adalah kematangan proses berpikir maka urutan materi bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi di kelas.
Di kelas III SD diperkenalkan operasi perkalian pada bilangan dengan konsep perkalian adalah penjumlahan berulang dari bilangan yang sama. Yang menurut penulis menarik adalah terjadinya berbagai cara untuk membuat siswa kelas III SD menjadi faham tentang operasi perkalian pada bilangan, mengingat sampai kelas III SD pola yang diberlakukan di kelas adalah guru kelas bukan guru mata pelajaran. Guru kelas kecenderungannya harus menguasai hampir keseluruhan mata pelajaran, tentunya dengan tingkat kedalaman yang berbeda dengan guru mata pelajaran yang fokus pada satu hal saja. Ada guru yang mengedepankan konsep keilmuan matematikanya dan ada guru yang menggunakan sisi praktis dalam bentuk hafalan perkalian agar siswanya bisa memahami konsep perkalian bilangan tersebut.
Sebagai contoh, jika perkalian disampaikan di kelas dengan mengacu pada konsep keilmuan, maka bisa jadi komunikasi yang terjadi di kelas adalah seperti contoh berikut:
Secara konsep keilmuan hal di atas memang tepat, hanya saja guru dalam penyampaiannya sering beda fokus terhadap apa yang diharapkan akan dicapai untuk siswa kelas III SD pada materi di atas. Ada juga guru yang mengajarkan konsep perkalian bilangan sekilas dengan konsepnya, kemudian membuat daftar perkalian yang bisa dihafalkan siswanya. Siswa diminta untuk menghafalkan perkalian-perkalian yang diminta. Hal terakhir memang tidak bebas dari masalah, karena pemahaman siswa terhadap konsep perkalian menjadi tidak bermakna, tetapi tujuan akhir siswa mampu menentukan hasil perkalian dari dua bilangan akan tercapai.
Penulis merasa tertarik dengan dua model pembelajaran di atas, mengingat penulis juga fokus pada materi matematika di SMP. Dua model di atas sama-sama benar, selama kita sebagai guru memahami siapa audiens kita dalam proses pembelajaran. Matematika sebagai konsep tentunya bisa kita ajarkan pada siswa yang pola pikirnya sudah tumbuh, mampu memahami materi yang abstrak. Jangan memaksakan siswa untuk memahami materi matematika secara konsep keilmuan kepada siswa yang belum mampu memahami konsep-konsep abstrak. Kelas I sampai III SD konsep-konsep matematika masih membutuhkan benda-benda atau contoh-contoh konkrit dalam pemahaman konsepnya. Seiring waktu pada jenjang SMP bisa dimulai pembelajaran matematika bisa dilakukan dengan proporsi 50% benda konkrit dan 50% konsep-konsep abstrak.
Praktisnya ada dua hal yang harus dimiliki guru dalam mengajar. Pertama, guru harus mengenal siswa yang mereka ajar ada di level atau tingkatan tertentu. Kedua, guru harus mengetahui bagaimana mengajar sesuai dengan level tersebut.
Di Labschool Cibubur, guru matematika kelas I sampai dengan III SD memahami bahwa pembelajaran matematika lebih banyak didukung oleh benda-benda konkrit. Pengenalan konsep matematika diberikan dengan cara sederhana namun tetap berfokus kepada tujuan pembelajaran. Adapun guru mata pelajaran matematika kelas IV sampai dengan VI, sesuai dengan perkembangan pola fikir siswanya penggunaan benda-benda konkrit sebagai pengantar pembelajaran mulai dikurangi dan konsep matematika mulai dikenalkan secara utuh. Proses ini terus dilakukan sehingga ketika di SMA pembelajaran matematika sudah tidak menggunakan benda konkrit dan lebih bersifat abstrak.
Selamat menyelami proses pembelajaran matematika yang menarik di Labschool Cibubur.